pisode 1 hingga 8 dalam satu cerita utuh:

Episode 1: Cita-cita yang Tertanam
Sejak kecil, Pane dibesarkan dengan impian besar oleh orang tuanya—impian untuk menjadi seorang biarawati. Di Sorong, biarawati dan suster dikenal sebagai sosok yang dihormati, menjalani kehidupan penuh pengabdian dan membantu sesama. Orang tua Pane berharap agar putri mereka mengikuti jejak ini, menjalani kehidupan yang sederhana namun penuh makna, tanpa keterikatan duniawi.
Namun, ketika Pane tumbuh dewasa, ia mulai merasa ada sesuatu yang lebih dalam hidup yang ingin ia raih. Di balik kebisuan dan kerapian yang ia tunjukkan, ada hasrat dan cita-cita yang tersembunyi. Pane memiliki impian untuk menjadi pengusaha—membangun sebuah bisnis yang bisa membantu keluarganya dan memberi dampak positif bagi masyarakat. Tapi, cita-cita itu berlawanan dengan harapan orang tuanya yang menginginkan dia untuk bergabung dengan kehidupan biarawati.
Jundo, pemuda yang ia temui di Nabire, memiliki banyak aktivitas yang menyibukkan dirinya. Sejak kecil, ia dikenal sebagai pemuda yang ceria dan penuh semangat. Walaupun ia memiliki bakat dalam dunia musik, ia merasa bahwa hidupnya penuh dengan berbagai hal lain yang harus ia kejar—entah itu kegiatan sosial, pendidikan, ataupun minat lainnya. Jundo tidak sepenuhnya fokus pada dunia bisnis, melainkan pada pengembangan diri dan keseimbangannya dalam menjalani kehidupan.
Episode 2: Pertemuan Tak Terduga dan Boneka Melvin
Liburan panjang akhirnya membawa Pane kembali ke Nabire, kota kelahirannya, untuk beristirahat setelah ujian SMP. Di kota ini, ia bertemu dengan Jundo, seorang pemuda ceria dan penuh semangat yang mengubah segalanya dalam hidupnya.
Suatu sore di pantai, saat mereka berbicara tentang impian dan harapan masing-masing, Jundo dengan tulus memberikan Pane sebuah hadiah yang tak terduga—sebuah boneka lucu yang ia beli di Surabaya, Jawa Timur. Boneka itu bernama Melvin.
“Ini untuk kamu,” kata Jundo dengan senyuman hangat, menyerahkan boneka itu. “Aku tahu kamu suka hal-hal lucu. Semoga ini jadi kenangan kita.”
Pane merasa terharu. “Terima kasih, Jundo. Ini sangat berarti.”
Setelah itu, mereka sepakat bahwa boneka Melvin akan menjadi simbol antara mereka, sebagai pengingat akan kenangan indah yang mereka bagi di pantai Nabire. Setiap kali mereka berbicara, Jundo menyebut boneka itu sebagai Bapak Melvin, sementara Pane menyebutnya dengan panggilan sayang, Mama Melvin. Boneka ini menjadi simbol dari hubungan mereka yang penuh harapan dan perasaan yang mendalam meskipun jarak memisahkan mereka.
Episode 3: Jarak yang Memisahkan
Setelah liburan selesai, Pane kembali ke Sorong untuk melanjutkan pendidikan di SMA. Jundo kembali ke Malang, namun mereka berusaha menjaga komunikasi lewat telepon, berbagi cerita tentang kehidupan dan perasaan mereka.
Jundo selalu menanyakan kabar Mama Melvin melalui telepon. “Bapak Melvin baik-baik saja?” tanyanya dengan suara penuh perhatian.
Pane tersenyum di seberang telepon. “Mama Melvin selalu baik-baik saja. Dia selalu menemani aku setiap malam.”
Namun, meskipun komunikasi mereka tetap terjalin, semakin lama Jundo sibuk dengan berbagai aktivitasnya—baik itu kegiatan di sekolah, teman-teman, atau proyek-proyek yang ia kerjakan. Aktivitas yang terus mengisi harinya menyebabkan hubungan mereka semakin terabaikan, meskipun boneka Melvin tetap menjadi pengingat yang hangat dalam ingatan Pane.
Episode 4: Pilihan Hidup yang Berat
Masa SMA berlalu, dan pilihan hidup Pane semakin mendekat. Ia harus memutuskan apakah akan mengikuti impian orang tuanya untuk menjadi seorang biarawati atau mengejar impian menjadi pengusaha. Sementara itu, Jundo juga sibuk dengan kegiatannya—baik itu berhubungan dengan dunia pendidikan maupun aktivitas sosial yang ia jalani. Meskipun kesibukannya, ia masih merindukan Pane dan berharap bisa kembali berkomunikasi dengan lebih intens.
Suatu malam, saat berbicara lewat telepon, Pane akhirnya berkata, “Jundo, aku harus memilih. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus mengikuti cita-cita orang tuaku menjadi seorang suster atau aku harus mengejar impianku sendiri?”
Jundo diam sejenak sebelum menjawab, “Pane, hidupmu adalah milikmu sendiri. Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu.”
Dengan berat hati, Pane memutuskan untuk tidak melanjutkan cita-cita menjadi biarawati. Ia memilih untuk melanjutkan kuliah dan mengejar impian sebagai pengusaha. Meskipun ini berarti ia harus mengecewakan orang tuanya, ia tahu ini adalah jalan yang harus ia pilih untuk kebahagiaan dan masa depannya.
Episode 5: Keputusan yang Mengubah Hidup
Di tengah perjalanan kuliahnya, Pane tetap menyimpan boneka Melvin di kamar kosnya, sebagai simbol dari perasaan dan kenangan yang ia miliki bersama Jundo. Setiap kali ia merasa ragu, ia akan memeluk Mama Melvin dan merasa bahwa ia tidak sendirian.
Jundo, meskipun sibuk dengan segala aktivitas yang mengisi harinya, juga terus merindukan Pane. Walaupun mereka tidak banyak berkomunikasi, kenangan mereka dan boneka Melvin selalu menjadi pengingat akan masa lalu yang penuh dengan perasaan tulus.
Masa depan mereka masih belum pasti, namun Pane tahu satu hal—ia telah membuat keputusan besar untuk mengejar impian hidupnya, dan takdir akan membawa mereka ke arah yang tak terduga.
Episode 6: Keraguan dan Perpisahan Sementara
Setelah berbulan-bulan menjaga komunikasi lewat telepon dan jarak yang semakin jauh, Pane merasa ada perubahan dalam dirinya. Meskipun boneka Melvin tetap menjadi pengingat dari hubungan mereka, kehidupan di Sorong mulai mengubah segalanya.
Pane mulai berkenalan dengan seorang pemuda di Sorong, seorang laki-laki yang menurutnya menarik dan memiliki sifat yang membuatnya nyaman. Dalam kebingungannya, Pane merasa dirinya terjebak dalam perasaan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Dia masih mencintai Jundo, tetapi perasaan terhadap laki-laki baru itu mulai tumbuh.
Suatu malam, saat berbicara dengan Jundo lewat telepon, Pane tiba-tiba merasakan keraguan yang kuat. Ia merasa bersalah dan bingung, antara mempertahankan hubungannya dengan Jundo atau mengejar perasaan yang baru tumbuh. Tanpa bisa menahan emosi, Pane akhirnya berkata, “
Jundo, aku rasa aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Aku sudah bertemu dengan seseorang di Sorong, dan aku pikir aku harus mencoba sesuatu yang baru.”
Jundo terdiam di seberang telepon, suaranya terdengar penuh kebingungan dan kesedihan. “Pane, apa maksudmu? Apa yang sedang terjadi?”
Pane menarik napas panjang, perasaan hatinya bercampur aduk. “Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi aku merasa aku harus mencoba untuk melanjutkan hidupku dengan cara yang berbeda. Mungkin aku terlalu banyak berpikir, dan aku perlu ruang untuk itu.”
Jundo merasa seperti ada yang hancur dalam hatinya. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya diam dengan perasaan yang semakin berat. Setelah beberapa saat, ia menjawab pelan, “Aku tidak mengerti, Pane. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, tapi jika ini yang kamu inginkan, aku tidak bisa memaksakan diriku.”
Saat itu, hubungan mereka secara resmi berakhir—setidaknya untuk sementara waktu. Pane merasa kecewa pada dirinya sendiri, namun di saat yang sama, ia tidak bisa menahan rasa ingin tahu tentang laki-laki baru yang hadir dalam hidupnya di Sorong.
Episode 7: Cinta yang Membingungkan
Beberapa bulan setelah keputusan itu, Pane mulai menjalani hidupnya tanpa Jundo. Ia mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki baru itu, namun hatinya tidak sepenuhnya bisa menerima sepenuhnya. Ia merasa ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapapun, meskipun laki-laki baru itu baik dan perhatian terhadapnya.
Di sisi lain, Jundo tetap merasa bingung dan terluka. Ia terus mengenang kata-kata Pane yang meminta putus, tetapi dalam hatinya, ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hubungan mereka berakhir begitu saja. Jundo tetap berharap bahwa suatu saat Pane akan kembali, meskipun ia tahu bahwa mungkin harapan itu hanya akan berakhir dengan kekecewaan.
Suatu hari, setelah beberapa bulan tidak berkomunikasi, Jundo mencoba menghubungi Pane, berharap mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Pane, meskipun merasa ragu, akhirnya mengangkat telepon itu.
“Jundo…,” suara Pane terdengar lemah. “Aku minta maaf. Aku hanya bingung waktu itu. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar ingin melanjutkan dengan orang lain atau tetap bersama kamu.”
Jundo, meskipun hatinya masih terluka, menjawab dengan lembut, “Pane, aku tidak pernah pergi. Aku selalu di sini, meskipun kamu memilih jalan yang berbeda. Tapi kamu harus tahu, aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Pane terdiam, tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Perasaannya campur aduk. Apakah ia benar-benar ingin melanjutkan hidup bersama laki-laki yang baru itu, atau apakah perasaan terhadap Jundo masih ada di dalam hatinya?
Episode 8: Kebijakan Pene yang Mengubah Hidup
Pane tahu bahwa ia harus membuat kebijakan keputusan besar. Meskipun ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia mulai merasa lebih dekat dengan laki-laki baru itu, perasaan terhadap Jundo selalu ada. Namun, ia juga harus realistis dengan hidupnya dan melihat kenyataan bahwa ia tidak bisa hidup dalam kebingungan.
Akhirnya, Pane memutuskan untuk berbicara dengan laki-laki baru itu, mengungkapkan bahwa hatinya masih terikat pada kenangan bersama Jundo, dan ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. “Aku merasa tidak adil terhadapmu,” kata Pane dengan suara penuh penyesalan. “Aku harus mengakui bahwa hatiku masih ada untuk seseorang yang jauh di sana.”
Meskipun laki-laki itu merasa terluka, ia mengerti. Ia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Pane mengakhiri hubungan mereka dengan rasa bersalah, namun ia juga merasa lega karena telah memutuskan untuk mengikuti perasaan sejatinya.
Sekarang, dengan keyakinan yang lebih jelas, Pane kembali menghubungi Jundo dan menjelaskan semuanya. “Jundo, aku ingin kembali. Aku sadar bahwa aku tidak bisa melupakanmu.”
Jundo, yang merasa hatinya kembali dipenuhi harapan, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Aku sudah menunggu saat ini. Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu.”
_________________________________
Cerita ini berlanjut dengan perjalanan panjang keduanya, mengeksplorasi apakah mereka bisa menemukan jalan kembali bersama meskipun perpisahan yang mereka alami. Boneka Melvin tetap menjadi simbol cinta yang tak terputuskan, meskipun perjalanan hidup mereka penuh dengan keraguan, kebingungan, dan perasaan yang tak selalu mudah dipahami.
Dengan catatan cerita belum berakhir.
Karya Melek Bagau
Masih Tahap pesanan di Gramedia,dan masih proses buat Edit stiker judulnya.